Semuanya
berawal dari sini. Aku seorang gadis bernama Chaca, aku mungkin cenderung gadis
yang biasa saja. Namun banyak sekali yang mengatakan jika aku salah satu gadis
biasa yang beruntung. Yaa aku sekarang sedang menjalani sebuah hubungan yang
menurutku cukup harmonis dengan seorang laki-laki bernama Chiko. Dia adalah
seorang seniman, dia memiliki sebuah band dan disana dia bertugas memainkan
gitar, dan aku pikir banyak dari teman-temanku yang mengaguminya atau mungkin
menyukainya. Entahlah. Aku sudah hampir 3 tahun menjalani pasang surut hubungan
dengannya, mungkin sudah banyak rasa yang telah menghampiri kami silih
berganti. Dan entah mengapa akhir-akhir
ini aku merasakan ada yang berbeda.
***
Tak
seperti biasanya, ketika aku bangun pagi ini tidak ada ucapan selamat pagi
darinya. Mungkin dia belum bangun, aku berinisiatif memberi ucapan selamat pagi
terlebih dahulu.
“Selamat
pagi Pak Chiko” beberapa detik kemudian.
“Pagi
juga sayang, baru bangun ya?”
“eh
udah banun kok gak ngabarin duluan?”
“bosen,
aku mulu yang ngasih kabar duluan, gantian dong.”
“apa?
Bosen?”
“jangan
negatif dulu, cuma ucapan selamat pagi doang, jangan di buat ribet lah yng.”
“gak,
bukannya gitu, tadi kamu bilang bosen. Itu maksudnya apa?”
“gpp.”
Ini
sungguh pagi yang tidak bersahabat, aku langsung mematikan handphone dan
meninggalkannya sarapan. Apa yang salah denganku? Jangan mentang-mentang
hubungan ini sudah lama, dia bisa seenaknya saja. Aku kesal padanya. Jika sudah
begini tak ada jalan lain, aku menghubungi sahabatku Echi.
“Chi,
lagi dimana?”
“dirumah
ca, kenapa?”
“setengah
jam lagi gue jemput, temenin gue cari udara segar.”
“hah?
Tunggu bentar. Kita mau kemana? Lagi ribut sama Chiko ya?”
“ahh
udah, gak usah bahas dia, males.”
“haha,
ini salah satu alesan gue tetep seneng jadi single woles haha.”
“kurang
asem lo, buruan ya.”
“siap
komandan.”
Aku
sudah memastikan tidak akan menghubunginya hari ini, aku akan seharian
bersenang-senang dengan Echi, aku tidak perduli dengannya. Aku egois? Tidak dia
yang egois.
“Ca,
kita ke kafe sana dulu yuk?”
“mau
ngapain? Lo belom sarapan?”
“udah
sih.”
“dasar
sapi, makan mulu.”
“gue
mau nemuin temen bentar, ada urusan.”
“gebetan
lu ya?”
“gak
la, ini temen gue dari smp kali.”
“hmm
yaudah deh. Jangan lama ya.”
“beres.”
Sudah
satu jam kami menunggu yang katanya “temen” smpnya Echi. Seharusnya dia sudah
datang dari tadi, mungkin dia tersesat di tengah hutan atau mungkin sudah di
makan dinosaurus, entahlah.
“chi,
cabut yuk? Bosen nungguin gebetan lu yang gak jelas dimana.”
Tiba-tiba
datang seorang laki-laki bertubuh tinggi semampai, hidung mancung, berkulit
putih, dengan gaya cool, namun manis sekali, beda jauh dengan Chiko.
“Chi,
sorry ya lama. Tadi ngantri di pom bensin.”
“eh
iya gak papa ta, kita juga baru nyampe. Ya gak ca?” baru? Si Echi bener-bener harus
menginstal ingatannya, udah satu jam nungguin makhluk bernama Ta ini. Aku hanya
balas dengan senyuman terpaksa perkataan Echi itu.
“ini
siapa chi?” heh ini makhluk kepo lagi, ngapain juga nanya-nanya gue. Buruan aja
urusan sama Echi apa, terus pulang, gue mau jalan sama Echi.
“oh,
ini Chaca ta. Ca kenalin ini Tata, temen smp gue.”
“oh
iya, gue Chaca.”
“iya,
gue Tata. Eh katanya kamu jago bikin puisi ya?”
“enggak,
biasa aja kok.”
“jangan
merendah gitu, gue juga suka dunia sastra.” Dan dia menunjukkan sederet puisi dari
memo di handphonenya, kami membicarakan banyak hal di kafe itu, hampir seharian
kami disana. aku bosan? Tidak. Aku merasa nyaman berbicara panjang lebar dengan
laki-laki ini. Aku kagum dengannya. Dia menyukai bidang yang sama denganku.
Setidaknya dia lebih menghargai karyaku dari pada Chiko, yang selalu
mentertawakan karya-karyaku yang menurutnya berlebihan. Bukankah dunia sastra
itu banyak menggunakan makna yang berlebihan? Ahh dia saja yang tidak mengerti.
Pertemuan
dengan laki-laki ini di akhiri dengan ..
“ca,
boleh minta nomer handphone kamu gak? Minimal pin bb lah.”
“buat
apa ya?”
“buat
sharing aja.”
“oh,
yaudah nih.”
Aku
mengakui bahwa dia mungkin sosok yang aku impikan, dia hampir memenuhi semua
kriteriaku mengenai laki-laki. Dan entahlah, mungkin aku hanya sekedar kagum
(baca:suka).
***
hubungan
yang di awali dengan puisi itu ternyata berjalan cukup lama, sekitar 2 bulan
mungkin. Dia memperlakukanku begitu manis, aku sangat terkesan dengan semua
tingkahnya. Apa aku menyukai laki-laki ini? Ahh tidak, aku tidak boleh
menyukainya. Aku masih punya Chiko. Yaa aku masih memiliki rasa sayang dengan
Chiko yang mulai membosankan.
“Ca
.. Chaca .. “ itu seperti suara papa.
“hah,
kenapa pa?”
“sini,
turun sebentar.”
“iya
pa iya”
sambil
memberikan kotak berukuran sedang padaku papa menjelaskan ..
“nih
papa kemarin pulang kantor liat ini. Kamu masih suka doraemon kan?”
“iyadong
pa, aku buka ya?”
“iya,
buruan.”
“hah,
handphone? Casingnya doraemon? Ya ampun papa lucu banget, makasih ya pa.”
Yaa
komunikasi kami terputus saat aku mengganti bb pemberian papa dan lupa
menyimpan pin bbnya terlebih dahulu. Jika memang dia niat menghubungiku, bisa
saja dia menanyakannya pada Echi. Ini sudah memasuki bulan ke 3 sejak
komunikasi itu mati total, ia tak pernah lagi menemuiku atau sekedar menitipkan
salamnya untukku pada Echi. Diam-diam aku menunggu, aku selalu menunggu kabar
darinya. Aku selalu menunggu kehadiran sosoknya, lagi. Aku merasa sedikit
berdosa pada Chiko yang jelas-jelas sudah menemani hari-hariku selalu beberapa
tahun terakhir, aku merasa ada yang salah dengan diriku. Setiap hari aku
bertanya pada harapan-harapanku “kemana dia pergi? Kemana dia sekarang? Dimana
dia? Mengapa tak kunjung memberiku kabar? …” dan masih segudang pertanyaan yang
membatin di hatiku.
***
Semua
pertanyaanku itu terjawab saat itu, aku sedang pergi bersama Chiko ke sebuah
mall. Seperti biasanya kami selalu ribet menentukan mau makan dimana dan mau
makan apa. Tiba-tiba saja jutaan karunia Tuhan yang di wujudkan dalam tetesan
air itu mulai mengguyur kami. Chiko mengajakku berlari untuk masuk ke sebuah
kafe kecil tak jauh berada di depan kami, karena dia tahu aku alergi dengan air
hujan. Aku duduk tepat di meja nomor 15, aku duduk di sebelah kanan Chiko. Aku
hanya memesan jus pokat tanpa gula, sedangkan Chiko memesan ayam bakar dan
capuchino hangat favoritnya.
“udah
jadi bapak-bapak ya kamu yng?”
“kok
gitu?”
“habisnya
kamu minum kopi mulu, persis kayak bapak-bapak.”
“iya
bapak dari anak-anak kamu nanti ya haha.”
“apaan
sih.”
“ngegombal
yng ceritanya.”
Aku
tediam saat mataku melihat sepasang kekasih yang terburu-buru masuk karena di
luar hujan sedang lebat-lebatnya. Wanita itu terlihat begitu bahagia bersama
kekasihnya. Tunggu dulu, sepertinya aku mengenal laki-laki itu. hah?! Aku tidak
salah kan? ITU TATA BERSAMA SEORANG WANITA YANG AKU YAKIN ITU ADALAH
KEKASIHNYA. Inikah jawaban mengapa dia pergi? Jujur saja aku hatiku tidak
memberikan respon apapun atas yang di beritahukan pandanganku saat ini. Aku
hanya sedikit kecewa, mungkin karena aku sudah menaruh sedikit harap padanya.
“eh
yng, lg ngomong nih dengerin kenapa?”
“ah,
iya yng. Jadi gimana?”
“kamu
gak dengerin aku ngomong ya? Kenapa kamu ngeliatin orang itu mulu sih yng? Temen
kamu?”
“gak,
kayaknya mereka bahagia banget ya yng?”
“ya
enggakla yng.”
“sotoy
banget sih.”
“bahagiaan
juga aku.”
“emang
kamu kenapa?”
“Aku
sudah memilih dan memiliki seorang gadis jutek yang lucu, yang cerewet, suka
ngambek, suka marah-marah, keras kepala, tapi aku sungguh menyayanginya.”
“hah?”
“iya, itu kamu. Aku tahu banyak yang jauh lebih dari kamu. Tapi aku juga sadar, di luar sana masih banyak orang-orang yang jauh berada di atasku. Namun, kamu tetap berada disini bukan? Kamu masih mau menemani hari-hariku. Kamu masih rajin memarahiku. Dan karena itulah aku sudah tidak mau berpaling dan hanya akan menyayangi kamu.”
“iya, itu kamu. Aku tahu banyak yang jauh lebih dari kamu. Tapi aku juga sadar, di luar sana masih banyak orang-orang yang jauh berada di atasku. Namun, kamu tetap berada disini bukan? Kamu masih mau menemani hari-hariku. Kamu masih rajin memarahiku. Dan karena itulah aku sudah tidak mau berpaling dan hanya akan menyayangi kamu.”
Chiko
mencium lembut keningku, entah mengapa tiba-tiba saja dia menjadi begitu
puitis.
“iya
yng, aku juga sayang banget sama kamu.”
Ini merupakan
suatu tamparan yang keras untukku. Aku tahu dia bukan seorang Khalil Gibran
yang pandai bersajak, atau mungkin seorang Ade Rai yang kuat dan gagah, atau
mungkin seorang Mario Teguh yang bijak dalam berbicara, atau bahkan mungkin
seorang Dedy Corbuzier yang selalu penuh dengan keajaiban, yaa dia hanya Chiko.
Dia manja, dia cerewet, dia tidak romantis, dia tidak puitis, dia hanya humoris
dan sikapnya kadang terkesan sangat manis. Dan dialah laki-laki pujaanku. Maafkan
aku. Aku menyayangimu.