Senin, 29 Juli 2013

Karena dialah laki-laki pujaanku


Semuanya berawal dari sini. Aku seorang gadis bernama Chaca, aku mungkin cenderung gadis yang biasa saja. Namun banyak sekali yang mengatakan jika aku salah satu gadis biasa yang beruntung. Yaa aku sekarang sedang menjalani sebuah hubungan yang menurutku cukup harmonis dengan seorang laki-laki bernama Chiko. Dia adalah seorang seniman, dia memiliki sebuah band dan disana dia bertugas memainkan gitar, dan aku pikir banyak dari teman-temanku yang mengaguminya atau mungkin menyukainya. Entahlah. Aku sudah hampir 3 tahun menjalani pasang surut hubungan dengannya, mungkin sudah banyak rasa yang telah menghampiri kami silih berganti.  Dan entah mengapa akhir-akhir ini aku merasakan ada yang berbeda.

***
Tak seperti biasanya, ketika aku bangun pagi ini tidak ada ucapan selamat pagi darinya. Mungkin dia belum bangun, aku berinisiatif memberi ucapan selamat pagi terlebih dahulu.

“Selamat pagi Pak Chiko” beberapa detik kemudian.
“Pagi juga sayang, baru bangun ya?”
“eh udah banun kok gak ngabarin duluan?”
“bosen, aku mulu yang ngasih kabar duluan, gantian dong.”
“apa? Bosen?”
“jangan negatif dulu, cuma ucapan selamat pagi doang, jangan di buat ribet lah yng.”
“gak, bukannya gitu, tadi kamu bilang bosen. Itu maksudnya apa?”
“gpp.”

Ini sungguh pagi yang tidak bersahabat, aku langsung mematikan handphone dan meninggalkannya sarapan. Apa yang salah denganku? Jangan mentang-mentang hubungan ini sudah lama, dia bisa seenaknya saja. Aku kesal padanya. Jika sudah begini tak ada jalan lain, aku menghubungi sahabatku Echi.

“Chi, lagi dimana?”
“dirumah ca, kenapa?”
“setengah jam lagi gue jemput, temenin gue cari udara segar.”
“hah? Tunggu bentar. Kita mau kemana? Lagi ribut sama Chiko ya?”
“ahh udah, gak usah bahas dia, males.”
“haha, ini salah satu alesan gue tetep seneng jadi single woles haha.”
“kurang asem lo, buruan ya.”
“siap komandan.”

Aku sudah memastikan tidak akan menghubunginya hari ini, aku akan seharian bersenang-senang dengan Echi, aku tidak perduli dengannya. Aku egois? Tidak dia yang egois.

“Ca, kita ke kafe sana dulu yuk?”
“mau ngapain? Lo belom sarapan?”
“udah sih.”
“dasar sapi, makan mulu.”
“gue mau nemuin temen bentar, ada urusan.”
“gebetan lu ya?”
“gak la, ini temen gue dari smp kali.”
“hmm yaudah deh. Jangan lama ya.”
“beres.”

Sudah satu jam kami menunggu yang katanya “temen” smpnya Echi. Seharusnya dia sudah datang dari tadi, mungkin dia tersesat di tengah hutan atau mungkin sudah di makan dinosaurus, entahlah.

“chi, cabut yuk? Bosen nungguin gebetan lu yang gak jelas dimana.”
Tiba-tiba datang seorang laki-laki bertubuh tinggi semampai, hidung mancung, berkulit putih, dengan gaya cool, namun manis sekali, beda jauh dengan Chiko.

“Chi, sorry ya lama. Tadi ngantri di pom bensin.”
“eh iya gak papa ta, kita juga baru nyampe. Ya gak ca?” baru? Si Echi bener-bener harus menginstal ingatannya, udah satu jam nungguin makhluk bernama Ta ini. Aku hanya balas dengan senyuman terpaksa perkataan Echi itu.

“ini siapa chi?” heh ini makhluk kepo lagi, ngapain juga nanya-nanya gue. Buruan aja urusan sama Echi apa, terus pulang, gue mau jalan sama Echi.

“oh, ini Chaca ta. Ca kenalin ini Tata, temen smp gue.”
“oh iya, gue Chaca.”
“iya, gue Tata. Eh katanya kamu jago bikin puisi ya?”
“enggak, biasa aja kok.”
“jangan merendah gitu, gue juga suka dunia sastra.” Dan dia menunjukkan sederet puisi dari memo di handphonenya, kami membicarakan banyak hal di kafe itu, hampir seharian kami disana. aku bosan? Tidak. Aku merasa nyaman berbicara panjang lebar dengan laki-laki ini. Aku kagum dengannya. Dia menyukai bidang yang sama denganku. Setidaknya dia lebih menghargai karyaku dari pada Chiko, yang selalu mentertawakan karya-karyaku yang menurutnya berlebihan. Bukankah dunia sastra itu banyak menggunakan makna yang berlebihan? Ahh dia saja yang tidak mengerti.

Pertemuan dengan laki-laki ini di akhiri dengan ..
“ca, boleh minta nomer handphone kamu gak? Minimal pin bb lah.”
“buat apa ya?”
“buat sharing aja.”
“oh, yaudah nih.”

Aku mengakui bahwa dia mungkin sosok yang aku impikan, dia hampir memenuhi semua kriteriaku mengenai laki-laki. Dan entahlah, mungkin aku hanya sekedar kagum (baca:suka).

***
hubungan yang di awali dengan puisi itu ternyata berjalan cukup lama, sekitar 2 bulan mungkin. Dia memperlakukanku begitu manis, aku sangat terkesan dengan semua tingkahnya. Apa aku menyukai laki-laki ini? Ahh tidak, aku tidak boleh menyukainya. Aku masih punya Chiko. Yaa aku masih memiliki rasa sayang dengan Chiko yang mulai membosankan.

“Ca .. Chaca .. “ itu seperti suara papa.
“hah, kenapa pa?”
“sini, turun sebentar.”
“iya pa iya”
sambil memberikan kotak berukuran sedang padaku papa menjelaskan ..
“nih papa kemarin pulang kantor liat ini. Kamu masih suka doraemon kan?”
“iyadong pa, aku buka ya?”
“iya, buruan.”
“hah, handphone? Casingnya doraemon? Ya ampun papa lucu banget, makasih ya pa.”
Yaa komunikasi kami terputus saat aku mengganti bb pemberian papa dan lupa menyimpan pin bbnya terlebih dahulu. Jika memang dia niat menghubungiku, bisa saja dia menanyakannya pada Echi. Ini sudah memasuki bulan ke 3 sejak komunikasi itu mati total, ia tak pernah lagi menemuiku atau sekedar menitipkan salamnya untukku pada Echi. Diam-diam aku menunggu, aku selalu menunggu kabar darinya. Aku selalu menunggu kehadiran sosoknya, lagi. Aku merasa sedikit berdosa pada Chiko yang jelas-jelas sudah menemani hari-hariku selalu beberapa tahun terakhir, aku merasa ada yang salah dengan diriku. Setiap hari aku bertanya pada harapan-harapanku “kemana dia pergi? Kemana dia sekarang? Dimana dia? Mengapa tak kunjung memberiku kabar? …” dan masih segudang pertanyaan yang membatin di hatiku.

***
Semua pertanyaanku itu terjawab saat itu, aku sedang pergi bersama Chiko ke sebuah mall. Seperti biasanya kami selalu ribet menentukan mau makan dimana dan mau makan apa. Tiba-tiba saja jutaan karunia Tuhan yang di wujudkan dalam tetesan air itu mulai mengguyur kami. Chiko mengajakku berlari untuk masuk ke sebuah kafe kecil tak jauh berada di depan kami, karena dia tahu aku alergi dengan air hujan. Aku duduk tepat di meja nomor 15, aku duduk di sebelah kanan Chiko. Aku hanya memesan jus pokat tanpa gula, sedangkan Chiko memesan ayam bakar dan capuchino hangat favoritnya.

“udah jadi bapak-bapak ya kamu yng?”
“kok gitu?”
“habisnya kamu minum kopi mulu, persis kayak bapak-bapak.”
“iya bapak dari anak-anak kamu nanti ya haha.”
“apaan sih.”
“ngegombal yng ceritanya.”

Aku tediam saat mataku melihat sepasang kekasih yang terburu-buru masuk karena di luar hujan sedang lebat-lebatnya. Wanita itu terlihat begitu bahagia bersama kekasihnya. Tunggu dulu, sepertinya aku mengenal laki-laki itu. hah?! Aku tidak salah kan? ITU TATA BERSAMA SEORANG WANITA YANG AKU YAKIN ITU ADALAH KEKASIHNYA. Inikah jawaban mengapa dia pergi? Jujur saja aku hatiku tidak memberikan respon apapun atas yang di beritahukan pandanganku saat ini. Aku hanya sedikit kecewa, mungkin karena aku sudah menaruh sedikit harap padanya.

“eh yng, lg ngomong nih dengerin kenapa?”
“ah, iya yng. Jadi gimana?”
“kamu gak dengerin aku ngomong ya? Kenapa kamu ngeliatin orang itu mulu sih yng? Temen kamu?”
“gak, kayaknya mereka bahagia banget ya yng?”
“ya enggakla yng.”
“sotoy banget sih.”
“bahagiaan juga aku.”
“emang kamu kenapa?”
“Aku sudah memilih dan memiliki seorang gadis jutek yang lucu, yang cerewet, suka ngambek, suka marah-marah, keras kepala, tapi aku sungguh menyayanginya.”
“hah?”
“iya, itu kamu. Aku tahu banyak yang jauh lebih dari kamu. Tapi aku juga sadar, di luar sana masih banyak orang-orang yang jauh berada di atasku. Namun, kamu tetap berada disini bukan? Kamu masih mau menemani hari-hariku. Kamu masih rajin memarahiku. Dan karena itulah aku sudah tidak mau berpaling dan hanya akan menyayangi kamu.”
Chiko mencium lembut keningku, entah mengapa tiba-tiba saja dia menjadi begitu puitis.
“iya yng, aku juga sayang banget sama kamu.”

Ini merupakan suatu tamparan yang keras untukku. Aku tahu dia bukan seorang Khalil Gibran yang pandai bersajak, atau mungkin seorang Ade Rai yang kuat dan gagah, atau mungkin seorang Mario Teguh yang bijak dalam berbicara, atau bahkan mungkin seorang Dedy Corbuzier yang selalu penuh dengan keajaiban, yaa dia hanya Chiko. Dia manja, dia cerewet, dia tidak romantis, dia tidak puitis, dia hanya humoris dan sikapnya kadang terkesan sangat manis. Dan dialah laki-laki pujaanku. Maafkan aku. Aku menyayangimu.

RUU KUHP (?)

         Selamat malam, perkenalkan saya Haqkida Kancana. Belakangan ini begitu banyak aksi menolak disahkan RUU KUHP (Kitab Und...