Selamat malam, perkenalkan saya
Haqkida Kancana. Belakangan ini begitu banyak aksi menolak disahkan RUU KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Saya bukan dari kalangan akademisi hukum
atau ahli ilmu hukum, namun saya tertarik membaca dan memahami mengenai RUU
KUHP karena ini menyangkut keberlangsungan hukum yang ada di Indonesia dan saya menemukan beberapa pasal yang agak “janggal”.
Yang pertama mengenai Pasal 470 RUU KUHP, yaitu koban
perkosaan yang sengaja menggugurkan kandungan bisa dipidana penjara 4 tahun. Terkait hukuman tindakan aborsi, tercantum dalam Pasal 251, 470, 471 dan 472 RUU KHUP.
° Pasal 251 ayat (1) dan (2) menyebutkan, "Orang yang
memberikan obat atau meminta perempuan untuk menggugurkan kandungan bisa
dipenjara empat tahun. Sementara mereka yang melakukan tindakan tersebut saat
menjalankan profesi bisa dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak."
° Pasal 470 ayat (1); (2) dan (3), perempuan yang memilih menggugurkan kandungan atau meminta
orang lain untuk melakukannya dijatuhi hukuman pidana empat tahun. Jika
pengguguran kandungan dilakukan tanpa persetujuan, pelaku terancam pidana 12
tahun. Sedangkan jika aborsi menyebabkan kematian ibu hamil, pelaku dipindana
paling lama 15 tahun.
° Pasal 417 ayat (1) dan (2) yang menjelaskan, pelaku yang
melakukan tindakan aborsi atas izin yang bersangkutan dikenai hukuman pidana
paling lama lima tahun. Pun bila tindakan tersebut menyebabkan kematian ibu
hamil, pelaku terancam penjara 8 tahun.
° Pasal 472
menyebutkan dokter, bidan, para medis dan apoteker yang membantu proses aborsi
mendapat hukuman tambahan 1/3 pidana utama dan dicabut haknya. Berbeda halnya
dengan dokter yang menggugurkan kandungan korban perkosaan dengan alasan
darurat medis, tidak dikenai hukuman pidana.
Saya menganut islam, dan saya
seorang muslim. Dan menurut ketua MUI
"korban perkosaan dapat melakukan aborsi selama usia kehamilanya belum
mencapai usia 40 hari, sebab teraniaya bukan karena dikehendaki melainkan
karena paksaan seseorang”
Lalu
silahkan baca Undang-Undang RI Nomor 26
Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia
mengatur prihal Hak perempuan salah satunya tentang jaminan hak reproduksi
perempuan, yaitu Pasal 49 ayat (3) menyebutkan:
“Hak khusus yang melekat pada diri perempuan dikarenakan fungsi reproduksinya,
dijamin dan dilindungi oleh hukum.”
Pasal 72 UU Kesehatan. Hak-hak reproduksi adalah merupakan
hak-hak asasi manusia, dan dijamin oleh undang- undang. Hak-hak reproduksi
tersebut mencakup:
a. Menjalani
kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari
paksaandan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
b.
Menentukan
kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau
kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat
manusia sesuai dengan norma agama.
c.
Menentukan
sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta
tidak bertentangan dengan norma agama.
d.
Memperoleh
informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan
dapat dipertanggung-jawabkan.
Menurut
penafsiran saya Negara memberi perlindungan dan hak penuh atas segala hal yang
berkaitan dengan reproduksi wanita (tolong
koreksi jika salah), dan dengan kata lain perempuan berhak menentukan kapan
untuk hamil tanpa ada paksaan, kekerasan atau diskriminasi (seperti halnya perkosaan). Dalam banyak kasus perkosaan yang
terjadi, perempuan adalah pihak yang paling dirugikan. Lalu muncul pasal yang
demikian, apakah kalian lupa bahwa ada Pasal
72 UU Kesehatan ?
Yang kedua Pasal 432 menyatakan, setiap orang yang bergelandangan di jalan atau
di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda
paling banyak kategori I. Adapun dalam pasal
49, pidana denda kategori I yakni sebesar Rp 1 juta.
Pasal
mengenai gelandangan sebenarnya sudah diatur dalam KUHP sebelum revisi, tetapi
dengan ancaman pidana yang berbeda. Pasal
505 Ayat (1) menyertakan, barangsiapa bergelandangan tanpa mempunyai mata
pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan
paling lama tiga bulan. Kemudian, dalam Pasal
505 ayat (2) diatur, pergelandangan yang dilakukan bersama-sama oleh tiga
orang atau lebih, yang masing-masing berumur di atas 16 tahun, diancam dengan
pidana kurungan paling lama enam bulan. Mungkin dalam pasal diatas banyak yang
setuju namun keberadaan pasal tersebut justru bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara.
Yang ketiga
Revisi Undang-Undang Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan (RUU PAS), sejumlah pasal dalam revisi UU Pemasyarakatan tersebut memberikan hak-hak napi, dari remisi hingga cuti
bersyarat. Pasal 9 dan 10 yang memberi hak rekreasi dan cuti
bersyarat kepada napi. Pasal yang dimaksud
mengatur hak narapidana untuk mendapatkan kegiatan rekreasional yang diatur
dalam pasal 9 huruf c dan cuti
bersyarat yang diatur dalam pasal 10
ayat 1 huruf d. Narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa
terkecuali juga berhak atas :
1.
remisi;
2.
asimilasi;
3.
cuti mengunjungi
atau dikunjungi keluarga;
4.
cuti bersyarat;
5.
cuti menjelang
bebas;
6.
pembebasan
bersyarat; dan
7.
hak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lalu
kemarin sempat ada anggota legislatif yang mengatakan bahwa cuti tersebut bisa
digunakan untuk jalan-jalan ke mall. I’m
sorry, are u kidding me? Tujuan adanya pidana jika warga Negara melakukan
pelanggaran atau kejahatan adalah untuk memberikan efek jera. Saya ulangi UNTUK MEMBERIKAN EFEK JERA. Memang
benar, narapidana akan didampingi oleh petugas namun apakah jumlah petugas
dilapas sama banyak dengan jumlah narapidana? Bukankah Menkum HAM menyebutkan
sudah banyak rutan yang overkapasitas? Selain aneh, mereka yang dipenjara itu
bukan sedang bekerja jadi untuk apa diberikan hak cuti? Setelah mereka melakukan
kejahatan Negara masih baik dengan menanggung kehidupan mereka selama dipenjara. Menkum HAM menyebutkan
biaya makan untuk narapidana dalam sebulan mencapai 1 triliyun (iya, satu triliyun). Sudah diberi makan gratis, lalu diberi hak
untuk cuti, dimana lagi efek jeranya?
Yang
keempat dalam RUU KUHP,
ancaman ke koruptor diperingan. Selain hukuman minimal turun menjadi 2 tahun,
ancaman denda turun dari minimal Rp 200 juta menjadi Rp 10 juta. Pasal 604 RUU KUHP itu berbunyi: Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu Korporasi yang merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori VI.
Jadi
gini wak, kau revisi pasal dan dibuat menjadi lebih ringan untuk orang yang melakukan extraordinary
crime ? Uang Negara yang diambil dari rakyat itu digunakan untuk kesejahteraan
rakyat bukan untuk memperkaya wakil-wakil rakyat. Saya ulangi lagi BUKAN UNTUK MEMPERKAYA WAKIL-WAKIL RAKYAT.
Yang kelima Pasal 70 ayat 1 huruf b yang
berbunyi "Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 dan Pasal 54, pidana penjara sedapat
mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan terdakwa berusia di atas 75
(tujuh puluh) tahun,"
Selain terdakwa yang berusia 75 tahun, RUU KUHP
menyarankan hakim tidak menjatuhkan pidana penjara kepada:
1.
terdakwa
adalah Anak;
2.
terdakwa
baru pertama kali melakukan Tindak Pidana;
3.
kerugian
dan penderitaan Korban tidak terlalu besar;
4.
terdakwa
telah membayar ganti rugi kepada Korban;
5. terdakwa
tidak menyadari bahwa Tindak Pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian
yang besar;
6.
tindak
pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
Lupa
kasus mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin dihukum di usia 69 tahun karena
terlibat korupsi selama 10 tahun lebih. Hasil korupsinya lebih dari Rp 400
miliar. Ia dihukum 13 tahun penjara dan seluruh asetnya dirampas negara. Lalu I Wayan Rubah terlibat korupsi di usia 89 tahun karena
menjual lahan tanah hutan rakyat di kawasan Jimbaran, Bali. Ia dihukum 4 bulan
penjara. Jadi seberat apapun kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang
dilakukan seseorang apa bila orang tersebut berusia 75 tahun ada baiknya tidak
dipenjara? Ini berita baik untuk calon koruptor diluar sana HAHAHAHA
Saya bangga Indonesia mampu membuat kitab undang-undang
sendiri, setelah 1981 Indonesia telah membuat KUHAP. Untuk itu saya mengucapkan
terimakasih atas kinerja bapak ibu sekalian. Namun saya meminta dengan sangat untuk mempertimbangkan beberapa
pasal yang agak “janggal” tersebut. Memang benar jika ada undang-undang yang
dirasa belum tepat bisa mengajukan yudisial
review ke Mahkamah Konstitusi. Tapi alangkah baiknya dilakukan peninjauan
kembali akan RUU KUHP tersebut. Akhir kata, semoga Indonesia semakin sejahtera.
Merdeka!